ihsanjarot

Mengingat Masa Kecil

Leave a Comment




Sepatu basah sepulang sekolah. Wangi lumpur yang bercampur keringat membuat mata ibu membelalak. Aku hanya menunduk takut uang jajan yang berkurang dijadikan pedang untuk menebas leherku. Ancaman yang menakutkan.

Kulirik ayah yang terduduk di kursi rotan di teras rumah. Menikmati kopinya seolah tak melihatku yang diancam mata ibu. Namun baguslah ia tetap membisu. Karena jika ia bergerak sedikit saja sama dengan sepuluh kali lipat tatapan ibu.

Pernah ia memarahiku sampai aku menangis tanpa suara saat aku memukulkan gagang sapu pada kepala adikku sampai berdarah, karena adikku terus mengganggu saat aku menggunting lembaran gambar yang esok akan kuadu.

Namun mereka tetaplah orang tua. Sekotor apapun bajuku sepulang sekolah atau sebodoh apapun tingkahku, keesokan harinya mereka kembali menjadi semula. Seperti tamagochi yang miliki tombol untuk kembali menjadi baru. Begitulah orang tua.

Kini, setelah waktu menumbuhkanku. Ketika pulang dengan pakaian kotor, tatap ibu selalu bersiap menjadi gerbang awal. Namun kuartikan tatapnya adalah kegelisahan. Mengkhawatirkan anaknya yang terus tumbuh sampai aku bisa melihat ubun-ubunnya. Aku pun tak tertunduk, memasang senyum dan menyampaikan pesan bahwa aku tidak apa-apa.

Dan ayah, seperti aku yang menjadi penengah ketika adikku menuntut sambil cemberut meminta fasilitas remaja agar bisa diterima, namun ayah yang enggan memanjakannya. Apa aku telah dewasa?


-ihsanjarot
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar