ihsanjarot

Oase

Leave a Comment


"dan mereka bertumpuk
dalam sebuah tempat terbuka
dengan asap yang mengelilingi muka,
melepas segala beban dan lelah,
sementara, sementara saja,
sebelum jam menunjukan akhir
dari sebuah siang yang singkat di sana"


***

Lalu-Lalang

Sudirman, Jakarta
7 November 2022

Hari-hari selalu bergemuruh di kota ini, entah awal, tengah atau akhir dalam sebuah pekan, kota yang tak pernah tertidur dengan nyenyak, dipenuhi hutan beton, jalanan yang mesra dengan pantat-pantat merah dari kendaraan dan klakson yang menyanyi dengan merdu di setiap jalanan.

Aku menjajakan kakiku siang ini di ibu kota, yang menyapa pertama kali adalah semilir angin yang kering dan menjadi ibu bagi keringatku yang jarang kujumpa dari tempat asalku berada. Jakarta, sebuah kota impian, yang dipenuhi cita-cita dan gemerlap yang menyajikan kemewahan (atau kesengsaraan?).

Aku di sini bukan untuk sebuah wisata, karena sampai sekarang tidak pernah terlintas di kepalaku bahwa Jakarta menjadi tujuanku untuk menghabiskan waktu dan menikmati akhir pekan atau sebuah liburan. Aku ke sini karena sebuah tugas pekerjaan (sesuatu yang harus kulakukan).

***
Jalanan selalu sibuk dengan biasa, padahal jarak dari tempatku tiba ke tujuan tidaklah jauh, hanya saja terik dan lalu lalang kesibukan mengurungkan niat kakiku untuk melakukan perjalanan seperti ritualku di kota tempatku tinggal. Semuanya terasa melelahkan sebelum aku melakukan apa-apa di sini.

Aku tiba di depan sebuah geduh kaca yang menjulang dan dipenuhi orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan. Aku menghela napas panjang, tidakkah mereka merasakan kelelahan seperti aku sekarang? Entahlah, aku memasuki lift dan beberapa saat tiba di sebuah lantai yang sudah bisa melihat bangunan-bangunan di bawahnya.


Makan Siang

Sejauh mataku memandang, aku tak melihat kaki-kaki lima atau warung makan yang di etalasenya menyajikan makanan-makanan yang menggairahkan dan akrab dengan lambungku, semuanya terlihat menguras saku, dengan lampu-lampu kuning yang menyoroti setiap menu sehingga menjadi meriah dan mengahsut rasa lapar yang lahir karena mataku. Kulihat sekitar, mereka yang bekerja di sini satu persatu (dan lalu berkerumun) turun dari lantai-lantai mereka tinggal, menjumpai pahlawan mereka-ojek daring, yang mengantarkan makanan yang berasal dari antah berantah, yang pasti bukan dari radius 50meter dari tempatku berdiri. Lantas, setelah mereka membawa makanannya, mereka kembali masuk, menaiki gedung-gedung dengan akses yang merepotkan.

Di mana mereka akan memakan semua itu?

Pertanyaan itu muncul setelah kuperhatikan orang-orang di sini, mungkin mereka makan di pantry di mana mereka bekerja, atau mungkin di depan meja kerja? Entahlah, namun memikirkan itu membuatku serasa ingin mengasihani masakan dan juga tangan-tangan para koki atau siapapun yang memasak makanan yang mereka makan, sebab bagiku, kecewalah mereka yang memakan makanan tanpa benar-benar khidmat menikmati setiap suapnya.

Oase

Aku melihat kehidupan yang membuatku senang, di sebelah gedung itu, aku melihat papan dengan tulisan smoking area, dan aku tersenyum sumringah, melihat banyak orang di sana yang sedang berekerumun menikmati setiap embus asap kretek yang mereka hisap dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku melihatnya, dari setiap yang mereka embuskan bukan sekadar asap yang mereka lepas, namun beban, rasa lelah dan apapun yang mereka gundahkan, mungkin komplainan dari atasan, atau tugas-tugas mereka yang berat dan melelahkan, namun, untuk apapun itu, aku merasa lega, sebab aku sekarang melihat manusia yang seperti biasa.

Aku mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, membaur dengan mereka yang kulihat sedang dalam fantasinya masing-masing.

Embusan pertama;
untuk keterasingan ini, untuk kalian yang sedang menikmati singkatnya jam makan siang namun dengan khidmat merayakannya.

Embusan kedua;
untuk kalian yang hebat, yang mungkin tak bisa kutiru atau terbiasa dengan keadaan yang semrawut dan hidup di kota yang sibuk ini.

Embusan ketiga;
untuk kita yang berada dalam oase ini, melupakan sejenak kesibukan dan kewajiban yang kutahu sangat berat hinggap di punggung ini.

Embusan-embusan lain;
untuk waktu yang singkat namun tetap bisa dirayakan dengan normal dan wajar, yang menjauhkan kita sejenak dalam hiruk pikuk keseharian yang terus menerus menuntut kita untuk menjadi sesuatu yang baik dan sempurna.

Prolog

Dalam perjalanan singkatku hari ini, aku menemukan sebuah tempat kecil yang memberikan ruang kehidupan bagi mereka yang tiap harinya bertarung dengan kehidupan dan kutahu tidak sedikit yang mereka korbankan, yang bisa mereka lakukan hanyalah terus menikmati hal-hal yang menjemukan (bagiku). Aku hanya berdoa untuk mereka, untuk terus menikmatinya sampai mungkin di titik mereka lelah atau tersadar dengan apap yang lebih bermakna dari ini semua. Untuk kalian yang bersamaku saat itu, semoga kalian bisa lebih menikmati apapun yang menjadi pilihan.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar