ihsanjarot

Menelusuri Awal

Leave a Comment

 



keberangkatan

Lalu melaju perlahan, menuju pemberhentian pertama.

"mari sejenak meninggalkan keramaian ini,
menuju sesuatu yang sunyi,
menuju awal, di mana aku bisa
berdiri kini."

Pagi yang diselimuti dingin sebab sedari malam hujan mengguyur kota, meninggalkan sisa-sisa yang membuat tubuhku melekat dengan selimut. Helaan napas panjang, apakah aku telah lelah?

Entahlah.

Sebuah keberangkatan yang sama, menuju tempat yang sama, dan orang-orang yang sama, lalu luka?

Pintu bis terbuka lebar, bis yang membawaku menuju area perbatasan kota ini, yang selalu sibuk dan menjenuhkan. Aku duduk di salah satu kursi sebelah kiri, sendiri, dengan ransel yang dihuni oleh dua atau tiga baju ganti, mungkin baju bapak sudah bisa kupakai kini. Pintu telah tertutup, roda bis mulai berputar, melaju perlahan dengan sebuah pagi yang selalu ramai di kota ini.

Aku berangkat.

pemberhentian pertama

Perbatasan kota selalu ramai, bukan hanya di kota ini, namun di kota-kota besar pasti seperti ini. Namun perbatasan kota ini memiliki banyak kenangan untukku, tempat pertama yang kujumpa saat aku berangkat dari kampung halaman, area transisi, area di mana aku melihat banyak orang dengan berbagai memorinya.

"untuk mereka yang pergi
yang mencari dan menentukan nasibnya sendiri.
untuk mereka yang pulang,
menagih rindu -atau kalah?"

Aku melihat mereka yang sedang pergi, meninggalkan kampung halaman, tempat dan orang-orang yang nyaman, untuk mengejar cita-cita, nasib, yang nantinya bisa mereka bawa dan dengan bangga mempersembahkannya pada keluarga. Aku juga melihat mereka yang sedang pulang, sorot mata yang tak sabar menemui orang-orang yang menunggu sebuah kepulangan, untuk menikmati waktu libur, atau memang sengaja menyempatkan diri untuk menghabisi rindunya, dan tak jarang, sebuah kepulangan terjadi karena mereka yang menyerah, kalah, atau hal-hal buruk lainnya, yang memaksa mereka untuk kembali pada titik awal. Kota memang keras.

perjalanan panjang

Sebuah bis berhenti, terpampang di sana sebuah kota yang kuhafal sedari kecil, aaah, aku pulang -entah untuk yang keberapa kalinya. Aku menaiki bis, melihat kanan kiri, mencoba mencari tempat yang nyaman untuk sebuah perjalanan panjang, kali ini aku menduduki bagian kanan kursi bis, aku ingin terlelap sampai nantinya dibangunkan oleh rem bis yang benar-benar menurunkanku di tempat yang sangat kuhafal detailnya.

Aku terjaga sebab manuver bis sangat terasa, kelok kanan, kelok kiri, menanjak dan menurun. Aku melihat sisi kiri kanan jalanan ini sudah teduh, dihimpit bukit-bukit yang seakan akan melahap bis ini jika cuaca buruk. Namun aku senang dengan jalanan ini, seperti tak ada celah untuk rasa bosan, berapa kali pun kupulang, tak pernah terbersit sebuah bosan di kepalaku.

"pesawahan yang bertumpuk,
menjadi piramida yang indah,
di sisi lain, dedaunan dan lumut itu merambat
memeluk dinding tanah yang tinggi.
aku tak pernah bosan dengan apa yang kulihat di sini."

sebuah awal

Kakiku menapaki sebuah kenangan, aku berhenti tepat di mana aku terlahir, meski bangunannya sudah banyak direnovasi, namun di mataku, rumah itu masihlah bilik bambu dengan pohon delima di teras depan rumah, dan terracotta. 

Beberapa pasang mata menolehku, tukang ojek, orang-orang yang sedang di warung, mereka menyelediku dengan tatapan hati-hati, setelah itu mereka tersenyum dan menyapa dengan nama kecilku. Aku hanya tersenyum balik pada mereka sambil sesekali mengingat nama-nama yang kulupa -tidak dengan rupa.

Aku berjalan menuju sebuah pintu, mengucap salam, dan aku mendapat senyuman yang sudah kulihat dari kecil. Beberapa orang rumah yang sedang berada di belakang rumah berjalan kecil dan menolehku. Aku benar-benar pulang.

"sehabis magrib yang menjadi sunyi,
dipenuhi jangkrik yang bernyanyi.
waktu di sini berjalan sangat lambat,
mengembalikan memori-memori tentang sebuah awal,
tentang aku yang kulihat di cermin kini."

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar