ihsanjarot

Sisa Dialog Kita

Leave a Comment


Dinar Astari dan -ihsanjarot


(1)
Angin kemarau yang kering menerpa hati yang hampir usang. Mengembalikan setiap kata dari mulut yang tertinggal jauh di belakang-- ketika aku terduduk manis di kursi peron, kita berdialog tentang hal-hal yang tak harusnya dibahas dan menunggu kereta yang membawamu jauh menciptakan jarak yang tak bisa kuringkas.


(2)
Kau tanya aku mau ke mana. Kubilang, ke mana saja. Sungguh, ke mana saja. Asal bahagia. Kalau bisa, ingin aku berbaring di lantai sabana, beratap langit bergemintang. Kalau hujan, aku lari ke pohon besar. Memeluk gigil, memanggil pagi. Mendengarnya, kau nyaris tertawa. Mungkin ada yang salah dalam kekata atau justru kau pernah mimpikan yang sama. Tempat seperti itu ada di mana ya?

(3)
Itu jauh tertinggal di belakang ribuan jejakku yang tersapu musim penghujan dan kemarau berkali-kali. Kini aku menjadi pasir di tepian pantai, kau samudera yang hening, dan ombak-ombak itu adalah dialog kita yang menjadi kenang--atau tak seharusnya kukenang? Mungkin kau sedang diam tanpa badai di sana, bermain dengan lumba-lumba. Aku tetap basah karena ombak yang semakin meninggi.

(4)
Karena masa lalu tak melulu menjelma pilu. Kadang, ia hadir sebagai getar di bibir kala siut malam purnama menyapa pipiku yang rindu usap tanganmu. Juga sebagai desir di dada yang berdebar, dahulu, saat mata kita bertemu. Saat kau tanya aku sesuatu yang tak bisa dan takkan pernah bisa kujawab kecuali dengan sendu. 

(5)
Apakah kita bisa bersama? Mengulang ratusan kilometer ini setidaknya dengan perbincangan sederhana dan secangkir kopi dari restoran kereta api? Takkan kupertanyakan mengapa Tuhan membelah kita dengan pisah, sebab kutahu segala temu akan jemu kalau berlarut-larut. 


(6)
Aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu--nanti kita harus bertemu. Entah sekadar berpapasan di pintu toko buku, saling memandang di kasir toko serba ada, atau mungkin--


(7)
Di mimpi saja, ucapku. Ruang paling lapang di mana rindu bebas direntangkan menjadi rajutan baju hangat untuk aku yang dibekukan harap. Matahari semi akan menyapa kita yang berpelukan mempertahankan kenang--saling mendekap bongkah sisa yang kita himpit di antara dada kita berdua. 


(8)
Rencana ini rahasia paling rahasia. Kukubur di dalam tanah, dekat akar pilang. Semoga rimbun daunnya akan melindunginya dari tangan-tangan jahil yang mungkin hendak mencuri dengar debar jantung kita di dalam sana, nekat menggali demi merusak janji kita. Dan aku, seterusnya akan berdoa dalam ketidakpastian. Semoga, ketidakwarasan ini takkan jadi malapetaka. Setidaknya, menjadi bunga tidur di kala lelah membuatku pengap. 


(9)
Lantas, aku akan berbaring, memejamkan mata, meminjam kilau bintang paling terang dari utara, menyimpannya di dalam genggaman. Cahaya itu akan menjelma hangat genggam tanganmu. Dalam khayal, kan kutemui tempat yang kedap akan rasa takut. Aku akan pasrah dalam rengkuhmu dan akan berdamai dengan kenyataan bahwa kita tak ditakdirkan berdampingan, meski kecupmu di dahiku mengatakan yang berkebalikan.



Bandung, 8 Januari 2016


Tulisan ini juga terbit di interleaved
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar