ihsanjarot

Jurnal #1: Bandung dalam Senja

Leave a Comment
Selamat waktumu untuk kalian, pembaca, di sini sudah hampir pukul sebelas siang.

Sudah lama aku tak menjamah blogku karena beberapa kendala, malas yang menggunung, jaringan internet dan kepalaku yang tak bisa diajak kerja sama.

Untuk beberapa tulisan ke depan, saya akan membagikan catatan atau jurnal tentang kisah saya yang saya alami setiap hari, meski saya takkan mempostingnya setiap hari karena kisah saya takkan menarik setiap harinya, jadi ini hanya beberapa catatan yang saya anggap menarik. Jadi selamat menikmati. :)

***

6 Desember 2017

Senja tidak tenggelam pada lautan. Di sini senja pulang pada bukit, gedung dan bangunan-bangunan kolonial.

Kukira senja di sini mulai terlupakan, karena kebanyakan orang hanya sibuk pada jalanan dan sebuah pulang setiap harinya.

Kaca mobil mereka gelap, mempercepat datangnya malam. Yang mereka harapkan adalah punahnya semua lampu merah.

Suasana senja di sini indah sebenarnya, sayang hanya saja jarang diperhatikan.

Bandung bagi sebagian besar orang adalah kota metropolitan, berjajar toko-toko modern di setiap jalanan kota. Di jalan Ir. H. Juanda atau yang terkenal dengan jalan Dago, memaparkan beberapa toko pakaian. Bukan seperti di Pasar Baru atau Pasar Gede Bage, di sini, pakaian dipajang dengan elegan, menawan, dan mencuri perhatian, strategi untuk menaikan penjualan.

Bandung memang terkenal dengan beberpa julukan, salaha satunya kota Mode, mungkin salah satunya karena itu. Namun bagiku sendiri Bandung tetaplah Bandung. Sebuah kota biasa karena ada senja dan arukina, yang istimewa menurutku di sini adalah lansekapnya yang menarik, gedung-gedung dari masa lalu yang masih berdiri, juga suasana yang menyenangkan.

Tapi, kupikir orang-orang sekarang yang menganggap Bandung adalah kota besar, kota untuk tujuan wisata, kota untuk melepas penat kepala mereka yang datang dari luar kota, terutama Jakarta. Dan oleh sebab itu, menurutku ada sebagian dari Bandung yang tersakiti, misalnya senja tadi.

Ya, senja bernasib buruk untuk beberapa saat. Ia ditelantarkan orang-orang yang sibuk dengan jalanan, liburan, hiburan dan orang-orang yang bergegas pulang. Saya yang menulis catatan ini berdiam di taman Dago yang baru selesai direnovasi beberapa waktu lalu, tepat di sudut perempatan Dago, melihat mereka yang menghabiskan waktunya di aspal dan lampu merah, senandung klakson yang marah, dan pantat-pantat kendaraan yang memerah, dan trotoar yang sepi dari pejalan kaki.

Saya sering menghabiskan waktu untuk berjalan kaki di Bandung, dan karena jalanan Dago dekat dengan markas saya di Bandung, jadi mungkin jalanan ini yang kukenali betul setiap harinya. Dan mungkin menurut saya, jika jalanan itu diberikan mulut untuk berbicara, ia akan berkata:

"Hei, lihat itu senja, lihat itu momen di mana malam yang sedang lahir dan siang yang sekarat, nikmatilah, bukan berkumpul di lampu merah dengan amarah."

Mungkin itu saja untuk kali ini, ada beberapa catatan yang belum saya posting di halaman blog ini, namun sudah ada pad buku harian, maaf bila kurang menarik atau tidak menarik sama sekali, saya hanya ingin berbagi kisah saya di hsetiap hari. Sampai jumpa kembali.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar