ihsanjarot

Di Mana Pulang?

Leave a Comment

            Tali sepatuku telah terikat, tas ransel sudah cukup berat, aku berdiri di depan pintu sebelum berangkat, pintu yang tak bisa kunamai, pintu masuk atau pintu keluar? Aku tak bisa memilih salah satunya. Pintu tanpa nama.

            Suasana hening selalu tersaji saat aku akan memulai perjalanan. Pintu-pintu kamar tertutup rapat, dikunci, sama dengan mata mereka yang kelelahan setelah semalaman dipaksa terbuka hanya untuk saling melotot atau menangisi keadaan.

            Aku melangkah menuju pintu pagar. Kulihat seorang suami sedang mengecup kening istrinya. Di rumah lain, kulihat sepasang suami istri yang lain sedang menggenggam kedua tangan kecil anaknya yang sedang belajar berlari. Aku menatap dengan ribuan rasa iri. Nafasku terasa berat, aku berangkat.

***

            Kakiku menginjak kota yang juga tak bisa kunamai ini. Kota perantauan atau kota kepulangan? Aku tak bisa memilih salah satunya. Kereta yang kutumpangi tadi telah berangkat lagi, mungkin akan pulang atau pergi? Tunggu dulu, aku menemukan nama untuk pintu dan kota ini. Pintu kereta, kota kereta. Entah itu pergi atau kembali, keduanya seperti sama saja.

Aku berjalan keluar dari stasiun, menaiki ojek yang menunggu penumpang tiba.

“Baru pulang, Mas?” Kata tukang ojek itu sembari memberikan salah satu helmnya padaku.

“Tidak tahu, Pak, saya tak yakin bahwa saya baru pulang, saya juga tak yakin bahwa saya sedang pergi,” kataku sembari memakai helm.

Tukang ojek itu menatapku sebentar, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

Masnya buat saya bingung saja, mari, Mas, silakan naik,” katanya sembari menepuk-nepuk jok motornya. Menyuruhku untuk duduk.

Sesampainya di jalan kecil menuju tempatku tinggal di kota kereta ini, aku memberikan kembali helm yang dipinjamkan oleh tukang ojek itu sembari memberi satu lembar uang dua puluh ribu.

“Terima kasih, Pak,” kataku.

“Sama-sama, Mas,” jawabnya singkat.

Mas, Mas ... ,” tukang ojek itu memanggilku yang sudah beberapa langkah meninggalkannya.

“Ada apa, Pak, apa ongkosnya kurang?” Tanyaku sembari tangan kananku memasuki saku kemeja.

“Tidak, bukan itu, Mas,” sanggahnya.

“Lalu?” Tanyaku lagi.

“Anggaplah kota ini sebagai rumah, nanti Masnya juga akan betah jika sudah terbiasa.” Kemudian tukang ojek itu memacu sepeda motornya meninggalkanku. Sejenak aku memikirkan apa yang tukang ojek itu katakan kemudian tersenyum heran.

Rumah?

***

Besok malam, takbir akan berkumandang di seluruh mesjid di sini. Sebuah seruan yang mengartikan kebahagiaan, kemenangan, keagungan dan pemujaan kepada Tuhan. Namun itu menurut mereka, menurutku takbir ini adalah sebuah kata yang mengusirku dari kota ini, memaksaku untuk berangkat kembali, menyuruhku untuk memasuki pintu kereta lagi.

Suasana di stasiun sangat ramai, calon penumpang memenuhi setiap ruang di sini, para petugas sibuk mengurusi nasib-nasib orang lain, sedang mereka sendiri tak sadar sedang ditunggu oleh keluarganya.

Aku memasuki gerbong kereta, duduk di dekat jendela. Kursi di sebelah dan di hadapanku diduduki oleh satu keluarga kecil. Ayahnya duduk di sebelahku dengan memangku anak laki-lakinya yang masih balita, sedangkan di hadapanku duduk ibunya, dan di hadapan ayahnya duduk putri mereka yang sudah remaja. Di mata orangtuanya terpancarkan rasa bahagia, sedangkan di tatapan putri mereka, matanya tampak biasa. Sama sepertiku, tidak seantusias mereka yang memang memelihara rindu dengan baik.

Setengah perjalanan telah terlalui, kulihat ibu dari keluarga itu sedang memangku anak balitanya yang tadi dipangku sang ayah, putri mereka sedang terlelap, mungkin kebosanan, sang ayah sendiri sedang memakan makanan yang mungkin tadi mereka beli di stasiun.

“Makanannya, Dek,” ucap sang ayah menawarkan sebuah keripik pisang padaku.

“Terima kasih, Pak, saya masih kenyang,” jawabku.

Sang ayah tersenyum sembari membuka plastik yang membungkus keripik pisangnya.

“Sudah lama, Dek, tinggal di Jakarta?” Tanyanya.

“Sudah lima tahun, Pak,” jawabku.

“Sudah lumayan juga, gimana, Dek, sudah betah di Jakarta?” Tanyanya lagi.

“Sepertinya sudah, Pak,” jawabku singkat.

“Jangan terlalu betah di sana, Dek, pada akhirnya kita harus pulang ke kampung halaman, pulang ke rumah,” katanya.

“Saya sudah lebih dari dua puluh lima tahun di Jakarta, saya kira saya sudah siap untuk meninggalkan kota itu sekarang. Sehabis lebaran nanti, saya dan keluarga akan menetap di rumah kami, di kampung, tidak lagi ke Jakarta,” sambungnya.

Oh, kenapa begitu, Pak?” Tanyaku.

“Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan pergi ke Jakarta atau ke kota besar lain, kita bisa dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan dan digaji besar, padahal sebenarnya itu hanya bayangan saja, jika dipikirkan lagi sekarang, mungkin hal itu ada benarnya, namun tak semuanya benar,” jawabnya.

“Maksud bapak?” Tanyaku lagi.

“Ya, jika dirasa sudah cukup mendapatkan uang langsung pulang saja, dijadikan modal usaha di kampung, hidup enak, tidur di tanah sendiri, lalu melihat anak-anak saya besar dan mungkin mereka pun akan pergi seperti saya atau adek sendiri.” Bapak itu tersenyum padaku, seperti sedang memberikan nasihat untuk berhati-hati dengan kota keretaku.

“Begitu ya, Pak, terima kasih atas nasihatnya.”

Aku menatap jendela kereta yang melukiskan lampu-lampu kota yang asing, kota yang menjadi rumah untuk orang-orang lain, kota yang menjadi persinggahan dan pengaduan nasib untuk sebagian orang yang lain. Kota memang asing.

***

Aku sudah berada di pintu pagar yang tak asing, di dalamnya kulihat pintu kereta tertutup rapat. Tidak ada penyambutan, tidak ada ucapan selamat datang. Kulihat rumah-rumah sekitar sudah ramai oleh kendaraan-kendaraan berplat kota lain.

Kubuka pintu keretaku itu, sangat hening. Kulihat pintu-pintu kamar masih tertutup rapat. Kulangkahkan kakiku menuju belakang bangunan ini, diruang makan sangat berantakan, pecahan piring dan gelas, tudung saji yang berada di posisi yang jauh dari makanan, tergeletak terbuka di dekat jalan menuju kamar mandi, meja makan sendiri kulihat tak sebersih lantai, butir-butir nasi yang berantakan, juga dengan lauk yang seperti bernyawa, berjalan sendiri dari piring sajinya.

Kuhela napas panjang. Apakah ini sebuah pulang?

***

            Takbir telah berkumandang. Kuintip dari jendela kamar, orang-orang berkeliling kampung dengan membawa microphone dan beduk sembari menaiki mobil bak terbuka. Anak-anak kecil mengikuti di belakangnya dengan mengayuh sepeda mereka. Untuk malam ini, anak-anak kecil itu terbebas dari jam malam.

            Di luar kamarku, kudengar suasana lebih ramai dari waktu tadi saat aku datang ke sini ataupun sebelum aku berangkat dari sini. Suara dengan nada-nada tinggi, suara dari hasil benturan benda-benda dari kaca dengan lantai keramik, suara dari hasil pertemuan yang cepat antara telapak tangan dan kulit pipi, dan suara-suara dengan bahasa yang seharusnya tak kuhafalkan selama ini.

            Aku memasangkan headset di telinga, manambahkan volume suara dari handphoneku. Memutarkan lagu-lagu yang tidak kalah keras dengan suasan di luar kamarku. Mataku sedang mencari hal-hal yang bisa menenangkan semua ini, pelamunan. Sampai akhirnya tatapanku berhenti di sebuah foto yang sudah kusam, foto berukuran sebesar amplop, berbingkai putih, dengan kacanya yang sudah retak, hasil dari gebrakanku saat aku datang ke sini terakhir kali.

            Kuambil foto itu, melihatnya dengan seksama, kulihat dalam foto itu aku sedang tersenyum bebas, ayahku menggendongku di pundaknya, ibuku berada di samping ayah sembari memegangi bagian belakang tubuhku, agar aku tak jatuh. Mataku meneteskan kesakitan, tanganku bergetar, cengkramanku pada bingkai foto itu semakin kuat, dadaku sesak, musik yang sedang kudengarkan seperti menghening secara perlahan, memoriku akan masa lalu seperti dibakar.

            Braaak

            Kulempar foto itu dengan kuat, membentur dinding. Kaca yang tadi retak sudah tak ada, berubah menjadi serpihan beling yang tajam, bingkai yang putih tadi tergores dan pudar sebagian, bahkan patah, fotonya tidak apa-apa, masih utuh dalam satu lembar, masih pudar seperti semula. Headset yang menempel dikupingku kucabut, handphone di sebelahku nasihnya sama seperti foto dan bingkainya.

            Kuambil bantal, kututupi kepalaku dengan bantal itu dengan kuat, berharap tak mendengar apa-apa lagi. Mataku masih belum berhenti mengeluarkan kesakitan, mulutku seperti ingin menjerit namun tertahan sesuatu.

***

            Aku terbangun dengan dipaksa orang lain.

            “Bangun! Bangun!” Teriak seseorang berseragam yang tak kukenal.

            Aku berlari, berteriak histeris, memukul siapa saja yang mendekatiku.

            Dan, izin untuk memborgolnya,” kata orang yang tadi membangunkanku.

            “Silakan, angkut semua orang gila ini, kita nanti masukkan ke panti-panti atau penampungan,” ucap seseorang yang lain yang sama-sama memakai seragam.

            Aku terus memberontak kepada mereka hingga pada akhirnya mereka menambah beberapa orang untuk menangkapku. Lalu menjebloskanku ke mobil truk. Entah ke mana aku pergi sekarang. Kursi yang ditaruh di bak truk ini sudah dipenuhi orang-orang yang bernasib sepertiku.

            Mereka membawaku sangat jauh dan berhenti di tempat entah berantah, aku sudah tak bisa memahami apa yang ditulis di papan dekat gerbang masuk tadi. Kulihat beberapa orang dengan seragam berbeda menyambut kami. Menyuruh kami berjalan, memasuki bangunan besar dengan banyak orang-orang yang bertingkah tak wajar di halaman depannya.

            Setelah beberapa lama, aku dibawa ke ruangan terbukan, pakaiankuy semua dilucuti sampai aku tak mengenakan apa-apa, orang-orang berseragam yang tadi menurunkanku mengguyurkan air ke seluruh badanku.

            “Sekarang kalian boleh tinggal di sini, jangan takut pada kami, anggap ini rumah baru untuk kalian, kami akan bantu kalian semampu kami,” kata orang berseragam itu kepadaku sambil tak henti mengguyurkan air pada badanku.

            “Rumah?” Aku menatap orang itu dengan heran.

            “Iya, sekarang ini rumahmu, kau akan baik-baik saja,” jawabnya sambil tersenyum.

            Aku tersenyum menirukan orang itu, entah kenapa mataku mengeluarkan sesuatu, seperti air, namun rasanya tak sama denga air yang orang itu guyurkan padaku. Air ini seperti sangat berharga, seperti sesuatu yang keluar dari langit, memberikan cahaya kepadaku.

            Entah kenapa aku memeluk orang itu dengan senang.

            “Rumah, akhirnya aku punya rumah, akhirnya aku pulang,” teriakku girang.

            “Iya, kamu sudah pulang sekarang, kamu harus menjaga sikap di sini, sebelum kamu senang, kita bereskan dulu mandimu ini,” jawabnya.

            “Aku pulang, aku pulang, aku pulang.” Tak henti-henti aku berteriak senang.



- SELESAI -
Bandung
2018

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar