ihsanjarot

Langkah Pertama

Leave a Comment

Di suatu pagi yang masih dini, ketika cahaya jauh dari matang, titik di mana mimpi dan kenyataan sejajar, ia terlahir dengan tangisan. Hanya tangisan, tidak ada kebahagiaan. Air matanya jatuh dari mata air lahiriah. Di balik selimut yang bukan untuk mengusir dinginnya pagi, ia bersemayam. Metamorfosis.

Namanya Je, seorang laki-laki yang mencoba berteman dengan dunia dan realita. Dahulu, sebelum dia terlahir, dia adalah pemimpi dan penanti yang setia. Juga pembohong ulung. Dia pandai menyembunyikan segala resah dari dunia dan realita.


***

"Hai, pagi yang belia, saya pulang."

Dia hempaskan tubuhnya pada ranjang yang dia anggap sebagai ibu dan jelmaan pagi. Kepalanya dikunjungi pertanyaan-pertanyaan tentang apa saja. Sampai biasanya tamu-tamu di kepalanya itu pulang ketika cahaya sudah menggaris di langit barat.

"Bolehkah pagi ini saya menutup diri dari tamu-tamu itu?" Dia mengangkat dirinya sendiri, terduduk di ranjang kemudian menyalakan sebatang tembakau manis yang dibungkus sehelai kertas putih. Asap keluar dari mulut dan lubang hidungnya. Nafasnya menjadi berat, matanya sayu menatap kamar yang gelap.

"Ibu, haruskah saya mengenali dunia ini?" Tanyanya.

Tidak ada jawaban. Kamarnya masih sunyi. Dan akan terus sunyi.

Dia berpindah ke meja dan laptop yang masih menyala. Mengikat rambutnya kemudian jari-jari tanganya bersuara. Yang dia yakini ibunya, pagi yang dini, adalah sosok yang bisu dan tuli, namun tidak buta. Maka, segala perasaan yang ingin ia sampaikan ditulisnya di lembar-lembar kertas atau diketik pada lembar-lembar digital.

"Ibu, saya meresahkan diri saya sendiri di sini. Ketakutan, kesakitan. Apa anakmu ini akan baik-baik saja?"

Jarinya terus bersuara sampai dia tersadar ibunya telah dininabobokan sinar yang menggurat horizontal dari barat. Ia tersenyum kecil, namun matanya berkaca-kaca.

"Saya kembali menjadi pura-pura."

***

Di pagi belia yang lain, Je terus bersenandung. Menadakan luka-luka serta keresahan yang mendiami kepala dan dadanya. Tak jarang air matanya jatuh, atau malah dia tertawa getir.

"Ibu, saya menjadi gila, sedari tadi saya bermain di atas luka-luka yang mulai mengering. Saya membasahinya lagi agar kembali wangi, namun kini saya menderita," ucapnya.

"Saya menertawakan diri saya sendiri yang sedang menjerit dan menangis. Saya juga menangisi diri saya sendiri yang masih bisa tertawa."

"Ibu, bolehkah saya kembali melihat cerita itu? Cerita yang sudah kau tutup rapat tentang saya."

Dia membenamkan kesadaranya secara paksa, sampai akhirnya dia terlelap juga. Kelelahan meluka.

Dalam lelapnya, dia memimpikan sesosok perempuan dengan wajah sebuah suasana di pagi yang terlalu dini. Sepi. Perempuan itu mempersilakan kepala Je untuk terjatuh di pangkuannya.

"Je, kau itu baru tunas," ucap perempuan itu sembari membelai-belai rambut Je yang panjang.

Je tidak mengekspresikan apa-apa. Dia merasa betah dipangku perempuan itu.

"Kau terlahir karena dirimu sendiri. Kau ada karena ketulusanmu. Dan kelak, kau akan mati karena penantianmu." Perempuan itu menatap Je dengan khidmat.

Je mulai menangis pelan, kini ia menjadi bisu namun tidak tuli dan buta. Bibirnya terkunci, kehendaknya untuk membantah tak bisa keluar.

"Je, nanti akan ada waktu di mana kau akan mengetahui ceritamu lagi. Bukan dari bibir yang sedang bicara ini. Tapi kau sendiri yang akan menemukan kepingan-kepingan kisahmu sebelum lahir, sebelum mati."

Je terbangun dari lelapnya. Itu hanya mimpi, pikirnya, namun di sudut matanya pikiran itu terbantahkan. Ada jejak di sana, dan ada sesuatu yang lain, yang sedang menunggunya untuk kembali.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar